UJI FITOKIMIA
A. Latar
Belakang
Kekayaaan alam di
Indonesia sangat melimpah baik itu bahan hayati maupun non hayati. Bahan-bahan hayati telah digunakan oleh
manusia untuk memenuhi berbagai keperluan hidup. Indonesia yang beriklim tropis
memiliki sumber daya alam hayati yang sangat beraneka ragam yang memproduksi
beraneka ragam senyawa kimia karbon alami.
Salah satu buah tersebut adalah
daun papaya (Carica Papaya) yang
sangat bermanfaat bagi pengobatan. Bermanfaatnya daun papaya (Carica Papaya) disebabkan karena
banyaknya kandungan senyawa yang terdapat didalamnya.
Menurut
(Harborne, 1984) guna memperoleh informasi lebih awal mengenai kandungan
kelompok senyawa metabolit sekunder dapat diidentifikasi dengan metode
fitokimia. Sejalan dengan hal tersebut, Robinson (1991) menyatakan bahwa,
metode ini diawali dengan mengisolasi kandungan senyawa metabolit sekunder
tersebut menggunakan metode ekstraksi pelarut seperti maserasi dan partisi.
Untuk mengetahui golongan senyawa dilakukan penapisan fitokimia. Penapisan
fitokimia dimaksudkan sebagai pemeriksaan
pendahuluan tentang kandungan kimia tumbuhan Carica papaya yang berhasiat.
Tumbuhan umumnya mengandung senyawa aktif dalam bentuk metabolit sekunder
seperti (alkaloid), (saponin), (flavanoid), (steroid), (triterpenoid), (kumarin) dan lain-lain. Tumbuhan papaya belum diketahui
secara detail kandungan metabolit sekundernya, maka perlu dilakukan uji fitokimia pada daun pepaya (Carica
papaya) untuk mengetahui senyawa metabolit
sekundernya, sehingga dapat diketahui potensi tumbuhan tersebut. Dengan
demikian upaya pelestariannya dapat dimanfaatkan lebih besar dan lebih baik.
B.
Rumusan Masalah
v
Bagaimana
cara untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder/golongan kelompok senyawa
yang terdapat dalam daun pepaya?
C. Tujuan
dan Manfaat
v
Dapat
mengetahui kandungan metabolit sekunder senyawa yang terdapat dalam daun pepaya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Pemanfaatan Daun Pepaya (Carica papaya)
Daun pepaya (Carica
papaya) adalah salah satu tanaman obat yang dapat diolah
sebagai makanan buah segar maupun olahan yang mempunyai nilai gizi. Hal ini.
Sehingga daun pepaya (Carica papaya) banyak
sekali digunakan sebagai obat tradisional di masyarakat yang pada akhirnya para
pakar farmasi meracik daun pepaya menjadi obat herbal yang sangat praktis
digunakan dan simple di bawa kemanapun.
2.1.2
Kandungan Kimia Daun
Pepaya (Carica papaya)
Tumbuhan pepaya (Carica
papaya) dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional pada bagian daun dan
akarnya. Hal ini disebabkan daun pepaya (Carica
papaya) mengandung senyawa metabolit sekunder yaitu steroid, saponin,
flavonoid, dan tannin.
2.2 Fitokimia dan Golongan Senyawa Metabolit
Sekunder
2.2.1 Fitokimia
Menurut Robinson (1991) alasan lain melakukan fitokimia
adalah untuk menentukan ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau efek yang
bermanfaat, yang ditunjukan oleh ekstrak tumbuhan kasar bila diuji dengan
sistem biologis. Pemanfaatan prosedur fitokimia telah mempunyai peranan yang
mapan dalam semua cabang ilmu tumbuhan. Meskipun cara ini penting dalam semua telaah kimia dan biokimia juga
telah dimanfaatkan dalam kajian biologis.
Sejalan dengan hal tersebut, menurut Moelyono (1996)
analisis fitokimia merupakan bagian dari ilmu farmakognosi yang mempelajari
metode atau cara analisis kandungan kimia yang terdapat dalam tumbuhan atau
hewan secara keseluruhan atau bagian-bagiannya, termasuk cara isolasi atau
pemisahannya.
Pada tahun terakhir ini fitokimia atau kimia tumbuhan
telah berkembang menjadi satu disiplin ilmu tersendiri, berada diantara kimia
organik bahan alam dan biokimia tumbuhan, serta berkaitan dengan keduanya.
Bidang perhatiannya adalah aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan
ditimbun oleh tumbuhan, yaitu mengenai struktur kimianya, biosintesisnya,
perubahan serta metabolismesnya,
peneyebarannya secara ilmiah dan fungsi biologisnya (Harborne,1984).
Keanekaragaman dan jumlah struktur molekul yang
dihasilkan oleh tumbuhan banyak sekali, demikian juga laju pengetahuan tentang
hal tersebut. Dengan demikian masalah
utama dalam penelitian fitokimia adalah menyusun data yang ada mengenai setiap
golongan senyawa khusus. Kandungan kimia tumbuhan dapat
digolongkan menurut beberapa cara. Pengolahan didasarkan pada asal biosintesis,
sifat kelarutan dan adanya gugus fungsi
kunci tertentu.
B.
Fitokimia dan
Golongan Senyawa Metabolit Sekunder
B.1 Fitokimia
Menurut
Robinson (1991) alasan lain melakukan fitokimia adalah untuk menentukan ciri
senyawa aktif penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat, yang ditunjukan
oleh ekstrak tumbuhan kasar bila diuji dengan sistem biologis. Pemanfaatan
prosedur fitokimia telah mempunyai peranan yang mapan dalam semua cabang ilmu
tumbuhan. Meskipun cara ini penting
dalam semua telaah kimia dan biokimia juga telah dimanfaatkan dalam
kajian biologis.
Sejalan dengan
hal tersebut, menurut Moelyono (1996) analisis fitokimia merupakan bagian dari
ilmu farmakognosi yang mempelajari metode atau cara analisis kandungan kimia
yang terdapat dalam tumbuhan atau hewan secara keseluruhan atau
bagian-bagiannya, termasuk cara isolasi atau pemisahannya.
Pada tahun
terakhir ini fitokimia atau kimia tumbuhan telah berkembang menjadi satu
disiplin ilmu tersendiri, berada diantara kimia organik bahan alam dan biokimia
tumbuhan, serta berkaitan dengan keduanya. Bidang perhatiannya adalah aneka
ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh tumbuhan, yaitu mengenai
struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebarannya
secara ilmiah dan fungsi biologisnya (Harborne, 1984).
Keanekaragaman
dan jumlah struktur molekul yang dihasilkan oleh tumbuhan banyak sekali,
demikian juga laju pengetahuan tentang hal tersebut. Dengan demikian masalah
utama dalam penelitian fitokimia adalah menyusun data yang ada mengenai setiap
golongan senyawa khusus. Kandungan kimia tumbuhan dapat
digolongkan menurut beberapa cara. Pengolahan didasarkan pada asal biosintesis,
sifat kelarutan dan adanya gugus fungsi
kunci tertentu.
B.2 Golongan Senyawa Metabolit Sekunder
Metabolit
atau metabolisme adalah keseluruhan proses sintesis senyawa-senyawa oleh organ
dalam jaringan atau sel individu dalam kelangsungan hidupnya. Manitto (1981),
menyatakan bahwa proses ini berlangsung selama individu atau organisme masih
hidup bahkan pada jaringan organisme yang telah mati dan pada umumnya
metabolisme primer dan metabolisme sekunder.
Menurut
Judoamdjojo (1990), metabolik sekunder adalah hasil metabolisme yang disintesis
oleh beberapa organisme tertentu yang tidak merupakan kebutuhan pokok untuk
hidup dan tumbuh. Meskipun demikian, metabolik sekunder dapat berfungsi sebagai
nutrien darurat untuk pertahanan hidup. Sedangkan menurut Herbert (1981),
metabolisme sekunder merupakan senyawa yang dihasilkan organisme untuk
aktivitas tertentu dan sifatnya tidak esensial untuk kehidupannya.
Proses-proses
kimia jenis lain yang terjadi hanya pada spesies tertentu sehingga memberikan
produk yang berlainan, sesuai dengan spesiesnya merupakan senyawa-senyawa
metabolik sekunder. Berperan dalam kelangsungan hidup dan perjuangan menghadapi
spesies-spesies lain berupa zat kimia untuk pertahanan, penarik seks, dan
feromen (Manitto, 1981). Menurut Sastrohamidjojo (1996), bahwa metabolik
sekunder adalah bahan kimia non-nutrisi yang mengontrol spesies biologi dalam
lingkungan atau memainkan peranan penting dalam koeksistensi dan koevolusi
spesies.
Menurut
Harborne (1984) senyawa metabolit sekunder yang umum terdapat pada tanaman
adalah : alkaloid, flavanoid, steroid, saponin, terpenoid dan tannin.
- Alkaloid
Alkaloid
adalah suatu golongan senyawa yang
tersebar luas hampir pada semua jenis tumbuhan. Semua alkaloid mengandung
paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa dan membentuk
cincin heterosiklik (Harborne, 1984).
Alkaloid dapat
ditemukan pada biji, daun, ranting dan kulit kayu dari tumbuh-tumbuhan. Kadar
alkaloid dari tumbuhan dapat mencapai 10-15%. Alkaloid kebanyakan bersifat
racun, tetapi ada pula yang sangat berguna dalam pengobatan. Alkaloid merupakan
senyawa tanpa warna, sering kali bersifat optik aktif, kebanyakan berbentuk
kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotin) pada suhu
kamar (Sabirin, et al.,1994).
Suatu cara
mengklasifikasi alkaloid adalah
didasarkan pada jenis cincin heterosiklik nitrogen yang terikat. Menurut klasifikasi
ini alkaloid dibedakan menjadi ; pirolidin (1), piperidin (2), isoquinolin (3),
quinolin (4) dan indol (5).
(1) (2) (3) (4) (5)
Gambar 1. klasifikasi alkaloid
berdasarkan jenis cincin heterosiklik
nitrogen (Tobing, 1989).
Alkaloid pada
umumnya berbentuk kristal yang tidak berwarna, ada juga yang berbentuk cair
seperti koniina (6), nikotin (7). Alkaloid
yang berwarna sangat jarang ditemukan misalnya berberina (8) berwarna
kuning.
(6) (7) (8)
Gambar 2. Struktur Koniina,
Nikotin dan Berberina (Sastrohamidjojo. 1996)
Kebasaan
alkaloid menyebabkan senyawa ini mudah terdekomposisi terutama oleh panas,
sinar dan oksigen membentuk N-oksida. Jaringan yang masih mengandung lemak,
maka dilakukan ekstraksi pendahuluan petroleum eter.
- Flavonoid
Flavonoid
adalah kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam terutama pada jaringan tumbuhan tinggi.
Senyawa ini merupakan produk metabolik sekunder yang terjadi dari sel dan
terakumulasi dari tubuh tumbuhan sebagai zat racun (Robinson, 1991).
Senyawa flavonoid
mempunyai kerangka dasar karbon dalam inti dasarnya yang tersusun dalam konfigurasi
C6 - C3 – C6. Susunan tersebut dapat
menghasilkan tiga struktur yaitu: 1,3-diarilpropana (flavonoid),
1,2-diarilpropana (isoflavonoid), 2,2-diarilpropana (neoflavonoid).
Gambar 3. Struktur Dasar Flavonoid (Manitto, 1981).
Menurut
Markham (1982), flavonoid merupakan senyawa polar karena mempunyai gugus
hidroksil yang tak tersulih, atau suatu gula, sehingga flavonoid cukup larut
dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol dan air.
Flavonoid
umumnya terikat pada gula sebagai glukosida dan aglikon flavonoid. Uji warna
yang penting dalam larutan alkohol ialah direduksi dengan serbuk Mg dan HCl
pekat. Diantara flavonoid hanya flavalon yang menghasilkan warna merah ceri
kuat (Harborne,1984).
- Terpenoid
Semua
terpenoid berasal dari molekul isoprena, CH2=C(CH3)-CH=CH2
dan kerangka karbonya dibangun oleh penyambungan dua atau lebih satuan C5
ini. Walaupun demikian, secara biosintesis senyawa yang berperan adalah
isopentil pirofosfat, CH2=C(CH3)-(CH)2OPP,
yang terbentuk dari asetat
melalui asam mevalonat, CH2OHCH2C(OH,CH3)-CH2CH2COOH.
Isopentil piropospat terdapat dalam sel hidup dan berkesinambungan dengan isomernya, dimetilalil piropospat, (CH3)2C=CHCH2OPP.
Berdasarkan kenyataan ini, terpenoid dikelompokan dalam 5
bagian:
a.
Monoterpen
terdiri dari dua unit C5 atau 10 atam karbon.
b.
Siskuisterpen
terdiri dari tiga unit C5 atau 15 atom karbon
c.
Diterpen
terdiri dari empat unit C5 atau 20 atom karbon
d.
Triterpen
terdiri dari enam unit C5 atau 30 atom karbon
e.
Tetraterpen
terdiri dari delapan unit C5 atau 40 atom karbon
Secara kimia,
terpenoid umumnya larut dalam lemak dan terdapat didalam sitoplasma sel
tumbuhan. Biasanya diekstraksi memakai petrolium eter, eter atau kloroform dan
dapat dipisahkan secara kromatografi pada silika gel dengan pelarut ini
(Harborne,1987).
Steroid adalah
terpenoid yang kerangka dasarnya terbentuk dari sistem cincin siklopentana
prehidrofenantrena. Steroid merupakan golongan senyawa metabolik sekunder yang
banyak dimanfaatkan sebagai obat. Hormon steroid pada umumnya diperoleh dari
senyawa-senyawa steroid alam terutama dalam tumbuhan (Djamal, 1988).
Menurut Harborne
(1984), saponin adalah glikosida triterpen dan sterol. Saponin merupakan
senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi
berdasarkan kemampuannya membentuk busa yang stabil dalam air dan menghomolisis
sel darah merah. Dari segi pemanfaatan, saponin sangat ekonomis sebagai bahan
baku pembuatan hormon steroid, tetapi saponin kadang-kadang dapat menyebabkan
keracunan pada ternak (Robinson, 1991).
- Tanin
Secara kimia terdapat dua jenis tanin, yaitu: (1) tanin
terkondensasi atau flavolan dan (2) tanin yang terhidrolisis.
1. Tanin
terkondensasi atau flavolan
Tersebar luas
dalam tumbuhan angiospermae, terutama pada tumbuhan-tumbuhan berkayu. Nama
lainnya adalah proantosianidin karena bila direaksikan dengan asam panas,
beberapa ikatan karbon-karbon penghubung satuan terputus dan dibebaskanlah
monomer antosianidin. Kebanyakan proantosianidin adalah prosianidin karena bila
direaksikan dengan asam akan menghasilkan sianidin. Proantosianidin dapat
dideteksi langsung dengan mencelupkan
jaringan tumbuhan ke dalam HCl 2M mendidih selama setengah jam yang akan
menghasilkan warna merah yang dapat diekstraksi dengan amil atau butil alkohol.
Bila digunakan jaringan kering, hasil tanin agak berkurang karena terjadinya
pelekatan tanin pada tempatnya didalam sel.
2.
Tanin yang terhidrolisis
Terbatas pada
tumbuhan berkeping dua. Terutama terdiri atas dua kelas, yang paling sederhana
adalah depsida galoiglukosa. Pada senyawa ini glukosa dikelilingi oleh lima
gugus ester galoil atau lebih. Jenis kedua, inti molekul berupa senyawa dimer
asam galat, yaitu asam heksahidroksidifenat yang berikatan dengan glukosa. Bila
dihidrolisis menghasilkan asam angelat. Cara deteksi tanin terhidrolisis adalah
dengan mengidentifikasi asam galat/asam elagat dalam ekstrak eter atau etil
asetat yang dipekatkan (Harborne,1987).
B.3 Ekstraksi dan Fraksionasi
B.3.1 Ekstraksi
Yang dimaksud dengan ekstraksi adalah pemisahan beberapa
bahan dari suatu padatan atau beberapa bahan dari cairan dengan bantuan
pelarut. Pemisahan terjadi atas dasar kemampuan larut yang berbeda dari
komponen-komponen dalam campuran (Handoyo, 1995).
Ekstraksi dapat didefinisikan sebagai metode pemisahan
komponen dari suatu campuran dengan menggunakan suatu pelarut yang sesuai.
Solut (zat terlarut) akan dipisahkan terdistribusi diantara kedua lapisan polar
dan non polar berdasarkan kelarutannya. Ekstraksi merupakan suatu pemisahan
senyawa yang terkandung dalam bahan cair/padat dengan menggunakan pelarut
tertentu pada temperatur tertentu (Anwar, 1994).
Ekstraksi adalah proses pemisahan suatu bahan dari
campurannya yang biasanya menggunakan pelarut (Depdikbud, 1988). Kaidah
sederhana yang berlaku dalam ekstraksi yaitu ”like dissolve like” yang artinya senyawa polar akan larut dengan
baik pada fase polar dan senyawa nonpolar akan larut dengan baik pada fase
nonpolar (Ketaren, 1988).
Ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan dari
suatu padatan atau caiaran dengan bantuan pelarut. Pemisahan terjadi atas dasar
kemampuan larut yang berbeda dalam komponen-komponen dalam campuran
(Bernaskoni, et.all., 1995).
Sementara menurut Moelyono (1996), ekstraksi adalah metode ekstraksi kandungan
senyawa kimia yang terdapat dalam suatu simplisia tumbuhan dengan menggunakan
pelarut-pelarut dalam suasana asam, basa, ataupun netral, dengan metode-metode
yang tertentu dan khas sesuai dengan sifat fisik dan kimia dari kandungan
kimianya. Pelarut-pelarut yang biasanya dipergunakan untuk senyawa-senyawa
organik diantaranya adalah eter, etanol, karbon, tetra klorida, aseton,
metanol, heksan, petroleum eter dan lain sebagainya (Ketaren, 1985).
Moelyono (1996) menyatakan bahwa, ditinjau dari suhu
ekstraksinya, dikenal dua tipe ekstraksi, yaitu
ekstraksi panas dan ekstraksi dingin. Ekstraksi panas adalah ekstraksi
yang prosesnya disertai dengan pemanasan, sedangkan ekstraksi dingin adalah
proses ekstraksi tanpa pemanasan. Contoh ekstraksi panas adalah soxhletasi, dan
infindasi. Contoh ekstraksi dingin adalah maserasi dan partisi (Anwar,et.all.,1994).
Secara umum teknik
ekstraksi dapat digolongkan menjadi dua yaitu :
1.
Ekstraksi
jangka pendek, yaitu teknik ekstraksi yang biasanya digunakan untuk memisahkan
suatu zat (bentuk cair), dengan dasar perbedaan kelarutan zat tersebut pada dua
pelarut yang tidak saling melarutkan. ( Underwood, 1986).
2.
Ekstraksi
jangka panjang, yaitu teknik ekstraksi yang biasanya digunakan untuk memisahkan
bahan alam (bentuk padat) yang terdapat pada tumbuhan atau hewan. Prosedur
klasik untuk memperoleh kandungan senyawa organik dari jaringan tumbuhan kering
ialah dengan mengekstraksi bagian tumbuhan tersebut melalui proses perendaman
dengan pelarut dengan menggunakan pelarut tertentu (pelarut polar dan nonpolar)
(Harborne, 1987).
Perkolasi adalah cara ekstraksi berulang yang dilakukan
dalam keadaan dingin. Caranya mirip dengan maserasi, tetapi setelah perendaman
dalam waktu tertentu, pelarut dikeluarkan dan diganti dengan pelarut baru.
Demikian dilakukan berulang kali. Setelah penyaringan, diperoleh filtrat yang
disebut perkolat (Moelyono, 1996).
Menurut Moelyono (1996) ditinjau dari mekanisme
ekstraksinya, dikenal beberapa tipe ekstraksi, yaitu :
1. Ekstraksi
satu kali
Ekstraski satu kali adalah metode ekstraksi bahan dengan
menggunakan satu jenis pelarut, dan ekstraksi hanya dilakukan satu kali dengan
sejumlah pelarut.
2. Ekstraksi
berulang
Ekstraski berulang adalah metode ekstraksi suatu bahan
dengan menggunakan satu jenis pelarut, tetapi prosesnya dilakukan berulang kali
dengan sejumlah pelarut.
3. Ekstraksi
bertingkat
Ekstraksi bertingkat adalah proses ekstraksi suatu bahan
dengan menggunakan beberapa jenis pelarut pengekstraksi, yaitu setelah
ekstraksi dengan pelarut pertama, dilanjutkan dengan menggunakan pelarut lain,
dan seterusnya.
BAB III
METODE PRAKTIKUM
A.
Waktu
dan Tempat Praktikum
Praktikum ini dilaksanakan pada hari
Jumat, 13 Mei 2011 bertempat di Laboratorium Pengembangan Unit Kimia FKIP
Universitas Haluoleo Kendari.
B.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada
praktikum kali ini adalah corong pisah, labu takar 100 mL, labu takar 10 mL, gelas
kimia 100 mL, gelas kimia 250 mL, gelas kimia 600 mL, corong kaca, batang
pengaduk, spatula, tabung reaksi, mortal dan alu, botol semprot, pipet tetes,
pipet volum 25 mL, filler, dan pipet volum 10 mL.
Sedangkan bahan yang digunakan adalah daun jambu
biji (Psidium guajava), kertas
saring, aquades, n-heksana, etil asetat, methanol, etanol, asam sulfat 2N, asam
klorida, asam asetat, kloroform, eter, amoniak 10%, pereaksi Meyer, pereaksi
Dragendorff, logam magnesium, gelatin, dan FeCl3.
C.
Prosedur
Kerja
2-4
gram daun jambu biji halus
|
-
Diekstraksi
dengan kloroform amoniak
-
Disaring
|
Filtrat
|
Residu
|
-
Dimasukkan
dalam corong pisah
-
Ditambahkan
10 mL asam sulfat 2 N
-
Dikocok
kuat-kuat
-
Didiamkan
sampai larutan memisah
-
Dimasukkan
dalam 2 tabung reaksi lapisan asam sulfat
|
Tabung I
|
Tabung II
|
-
Ditambahkan
beberapa tetes pereaksi Meyer
|
≠ endapan
|
-
Ditambahkan
beberapa tetes pereaksi Dragendorf
|
≠ endapan
|
10 gram daun jambu biji halus
|
-
Diuji
dengan pereaksi Liebermann-Burchard
|
Warna yang tampak
|
-
Diekstraksi
dengan etanol panas
-
Disaring
|
Filtrat
|
Residu
|
-
Diekstraksi
dengan eter
|
Ekstrak eter
|
-
Diuji
dengan pereaksi Liebermann-Burchard
|
Warna yang tampak
|
-
Ditambahkan
air
-
Dikocok
kuat-kuat
-
Didiamkan
selama 30 menit hingga timbul busa
|
Positif Saponin
|
-
Dihidrolisis
dengan 4 mL asam klorida 2 N
-
Disaring
|
Residu
|
Filtrat
|
3. Uji Flavonoid
10 gram daun jambu biji halus
|
-
Diekstraksi
dengan methanol
-
disaring
|
Filtrat
|
Residu
|
-
Diuapkan
-
Diekstraksi
dengan n-heksana
|
-
Diekstraksi
dengan 10 mL etanol 80%
-
Ditambahkan
0,01 g logam magnesium
|
Tabung I
|
Tabung II sebagai kontrol
|
Hasil
|
-
Ditambahkan
0,5 mL HCl pekat
|
Hasil
|
4.
Uji Tanin dan Polifenol
10
gram daun jambu biji halus
|
- Digerus
dengan air
- Dipindahkan
ke gelas kimia
- Didihkan
- Disaring
|
Filtrat
|
Residu
|
Tabung
II
|
Tabung
I
|
- Diteteskan
dengan larutan FeCl3
|
Warna
biru
|
- Diteteskan
dengan larutan gelatin 10%
|
Endapan
putih
|
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
Pengamatan
No
|
Uji Fitokimia
|
+++
|
++
|
+
|
_
|
kesimpulan
|
1.
|
Alkaloid
-meyer
-dragendorf
|
ü
|
ü
|
Daun pepaya mengandung senyawa
alkaloid
|
||
2.
|
Saponin
-steroid
-triterpen
|
ü
|
ü
|
ü
|
Daun
pepaya mengandung saponin dari steroid dan tidak mengandung saponin dari
triterpen
|
|
3.
|
Flafonoid
|
ü
|
Daun
pepaya tidak mengandung flavonoid
|
|||
4.
|
Tanin/Polifenol
|
ü
|
Daun
pepaya mengandung tanin atau polifenol yang sangat kuat
|
B. Reaksi Lengkap
Uji tanin dan polifenol
C. Pembahasan
Indonesia merupakan salah satu negara yang
memiliki varietas bahan hayati yang bermanfaat. Bahan-bahan hayati telah digunakan oleh manusia
untuk memenuhi berbagai keperluan hidup. Indonesia yang beriklim tropis
memiliki sumber daya alam hayati yang sangat beraneka ragam yang memproduksi
beraneka ragam senyawa kimia karbon alami.
Salah
satu buah tersebut adalahdaun pepaya (Carica
papaya) yang sangat bermanfaat bagi pengobatan. Bermanfaatnya daun pepaya (Carica papaya) disebabkan karena
banyaknya kandungan senyawa yang terdapat didalamnya.
Fitokimia merupakan suatu teknik
analisis kandungan kimia di dalam bagian-bagian tumbuhan (akar, batang,
ranting, daun, biji, dan buah). Analisis fitokimia barsifat kualitatif sehingga
kandungan kimia dalam suatu tumbuhan dapat diketahui dengan metode fitokimia.
Secara umum kandungan kimia tumbuhan dapat di kelompokan ke dalam golongan
senyawa alkaloid, flavonoid, tannin, polivenol, dan kuinon. Untuk identivikasi
senyawa-senyawa tersebut yang terdapat pada tumbuhan berdasarkan endapan dan
warna yang ditimbulkan dengan menggunakan
peraksi-peraksi yang spesifik dan khusus.
Pada praktikum
kali
ini, dilakukan uji fitokimia pada daun
pepaya (Carica papaya). Uji fitokimia secara umum
dilakukan dengan terlebih dahulu menghaluskan sampel/daun pepaya dengan lumpang, sehingga ukuran
partikel sampel menjadi sangat kecil sehingga memudahkan kandungan kimia
dari bahan atau sampel tersebut dapat tersaring dengan baik.
Pada
praktikum uji fitokimia ini dilakukan uji alkaloid, uji
flavonoid, uji tannin dan polifenol, dan uji steroid, saponin dan triterpenoid.
Alkaloid
adalah suatu golongan senyawa yang tersebar luas hampir pada semua jenis
tumbuhan yang merupakan senyawa turunan yang mengandung unsur nitrogen (umumnya
dalam cincin) yang terdapat pada mahluk hidup. Pada uji ini sampel yang akan dilihat kandungan
alkaloidnya terlebih dahulu digerus. Proses penggerusan ini bertujuan untuk
menghancurkan dinding sel yang sifatnya kaku sehingga senyawa target (metabolit
sekunder) yang berada dalam vakuola mudah untuk diambil. Setelah itu
ditambahkan dengan kloroform yang bertujuan untuk mengambil atau melarutkan
senyawa yang ada di dalam daun tersebut dan kemudian diekstraksi dengan
kloroform amoniakal. Proses ekstraksi dengan kloroform amoniakal ini bertujuan
untuk memutuskan ikatan antara asam tanin dan alkaloid yang terikat secara
ionik dimana atom N dari alkaloid
berikatan silang stabil dengan gugus hidroksifenolik dari asam tanin tersebut.
Dengan terputusnya ikatan tersebut alkaloid akan bebas sedangkan asam tanin
akan terikat pada kloroform amoniakal. Setelah itu disaring dan filtratnya
dimasukkan ke dalam corong pisah dan ditambahkan asam sulfat 2 N yang bertujuan
untuk mengikat kembali alkaloid menjadi garam alkaloid agar dapat bereaksi
dengan pereaksi-pereaksi logam yang spesifik untuk alkaloid yang menghasilkan
kompleks garam anorganik yang tidak larut sehingga terpisah dengan metabolit
sekunder lainnya. Penambahan asam sulfat 2 N ini mengakibatkan larutan
terbentuk menjadi 2 fase karena adanya perbedaan tingkat kepolaran antara fase
aquades yang polar dan kloroform yang relatif kurang polar.
Garam alkaloid
akan larut pada lapisan atas (fasa aquades), sedangkan lapisan kloroform berada
pada lapisan bawah karena memiliki massa jenis yang lebih besar. Proses
pengadukan disini dimaksudkan untuk melarutkan senyawa-senyawa pada tiap-tiap
lapisan secara cepat dan sempurna. Setelah terbentuk 2 lapisan hanya pada
lapisan asam sulfat yang diambil yang dimaksudkan dalam tabung reaksi dan
ditambahkan pereaksi meyer yang bertujuan untuk mendeteksi alkaloid, dimana
pereaksi ini akan berikatan dengan alkaloid melalui ikatan koordinasi antara
atom N alkaloid dengan Hg pereaksi meyer sehingga menghasilkan senyawa kompleks
merkuri yang non polar yang mengendap berwarna putih kekuningan.
Reaksinya sebagai berikut :
Atom N menyumbangkan pasangan elektron
bebas pada atom Hg sehingga membentuk senyawa kompleks yang mengandung atom N
sebagai ligannya Setelah ditambahkan dengan pereaksi tersebut diketahui bahwa
pada daun jambu biji tidak terdapat kandungan alkaloid atau (-) alkaloid yang
ditandai dengan tidak terbentuknya endapan putih. Begitu pula yang terjadi
ketika sampel ditambahkan pereaksi dragendorff tidak terdapat endapan merah
kecoklatan.
Pada
uji tannin dan polifenol, sampel dihaluskan untuk menghancurkan dinding sel
yang sifatnya kaku sehingga senyawa target (metabolit sekunder) yang berada
dalam vakuola mudah diambil. Kemudian sampel dipanaskan untuk melarutkan
tannin/polifenol, kemudian disaring lalu ditambahkan larutan FeCl3
menghasilkan warna biru kehitaman yang
menandakan (+) tannin/polifenol. Sedangkan
ketika sampel ditambahkan larutan gelatin 10% menunjukkan adanya endapan putih
yang menandakan bahwa positif tannin.
Flavanoid adalah
suatu kelompok senyawa fenol alam yang memiliki kerangka dasar karbon terdiri
atas 15 atom C yang tersusun dalam konfigurasi C6– C3–C6,
dimana dua cincin benzen dihubungkan oleh tiga satuan atom C yang dapat atau
tidak dapat membentuk cincin. Dalam tumbuhan, flavanoid disintesis dari tiga
unit asetat malonat (cincin A) dan fenil propanoid (cincin B dan C). Dalam
tumbuhan, flavanoid tersebar merata dalam akar, daun, kulit, tepung saring,
bunga dan biji. Sifat kimia dari flavanoid yaitu polar atau semi polar, larut
dalam methanol, etanol, n-butanol, air dan eter serta kloroform. Sedangkan
sifat fisikanya yaitu padat/kristal, tidak berbau, dan tidak berwarna.
Flavanoid dapat dideteksi dengan logam Mg, Cu, larutan NaOH, H2SO4
pekat.
Pada uji flavanoid
ini, mula-mula sampel dihaluskan untuk menghancurkan dinding sel yang sifatnya
kaku sehingga senyawa targetnya (metabolit sekunder) yang berada dalam vakuola
mudah diambil. Sampel kemudian diekstraksi dengan methanol. Digunakan methanol
karena flavanoid relatif polar sehingga dapat larut dalam methanol. Selain itu
methanol juga merupakan pelarut universal yang dapat bersifat polar dan
nonpolar. Setelah diekstraksi, larutan disaring untuk memisahkan filtrat dan
residunya. Filtratnya diuapkan sehingga filtratnya menjadi pekat. Setelah
diuapkan, filtrat diekstraksi lagi dengan n-heksan agar senyawa-senyawa
nonpolar dibawa ke n-heksan, kemudian disaring untuk memisahkan filtrat dan
residunya. Residu yang diperoleh dibagi ke dalam dua tabung, tabung pertama
ditambahkan logam Mg untuk mendeteksi
adanya senyawa flavanoid, dimana flavanoid akan bereaksi dengan logam Mg.
Setelah penambahan logam Mg nampak logam Mg ini larut, kemudian dilanjutkan dengan penambahan HCl pekat yang ditandai
dengan larutan berbusa dan berwarna
merah muda yang menandakan sampel tersebut terdapat flavanoid.. Tabung kedua
digunakan sebagai kontrol.
Steroid adalah
terpenoid yang kerangka dasarnya terbentuk dari sistem cincin siklopentana
prehidrofenantrena. Steroid merupakan golongan senyawa metabolik sekunder yang
banyak dimanfaatkan sebagai obat. Hormon steroid pada umumnya diperoleh dari
senyawa-senyawa steroid alam terutama dalam tumbuhan.
Pada uji steroid
(triterpenoid dan saponin) ini, mula-mula sampel dihaluskan untuk menghancurkan
dinding sel yang sifatnya kaku sehingga senyawa targetnya (metabolit sekunder)
yang berada dalam vakuola mudah diambil. Sampel kemudian diekstraksi dengan
etanol panas dan dilanjutkan dengan eter. Setelah diekstraksi, larutan disaring
untuk memisahkan filtrat dan residunya. Filtratnya ditambahkan dengan 3-4 tetes
asam sulfat pekat 98% dan ditambahkan 4-5 tetes asam asetat glacial. Larutan
sampel menunjukkan adanya warna merah dan terdapat busa yang menunjukkan
positif adanya triterpenoid dan saponin.
Pada percobaan
uji fitokimia daun pepaya ternyata senyawa organic yang terkandung dalam daun
pepaya (Carica papaya) sangat besar
mengandung Saponin dari steroid dan banyak mengandung tannin dan polifenol juga
mengandung sedikit alkaloid dari pereaksi meyer dan juga saponin dari pereaksi
triterpen. Daun papaya tidak mengandung Flavonoid.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum maka
dapat disimpulkan bahwa senyawa
organic yang terkandung dalam daun pepaya (Carica
papaya) sangat besar mengandung Saponin dari steroid dan banyak mengandung
tannin dan polifenol juga mengandung sedikit alkaloid dari pereaksi meyer dan
juga saponin dari pereaksi triterpen. Daun papaya tidak mengandung Flavonoid.
B.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, C., Bambang Purwono,
Harno Dwipranowo dan Tutik Wahyuningsih, 1994. Pengantar Praktikum Kimia Organik. Dikti. UGM, Yogyakarta
Bernasconi,
et.all., 1995. Teknologi Kimia 2. Terjemahan Lienda Handojo. PT. Pradya Pramita.
Jakarta.
Djamal, R., 1988. Tumbuhan Sebagai
Sumber Bahan Obat. Pusat Penelitian. Universitas
Negeri Andalas.
Harborne, J.B., 1984. Phitochemical Method. Chapman and Hall
ltd. London.
Herbert, R.B., 1989. The Biosynthesis of Secondary Metabolism. Campman
and Hall 29 West 35th Street, New York.
Judoamidjojo M., Darwis
A.A., Gumbira E., 1990. Teknologi
Fermentasi. IPB. Bogor .
Manitto, P., 1981. Biosintesis Produk Alami. Terjemahan : Koensoenmardiyah. IKIP
Semarang Press. Semarang .
Markham, K.R., 1982. Cara Mengidentifikasi Falvanoid. Alih
Bahasa : Kosasih Padmawinata, (1988). ITB. Bandung .
Moelyono, M.W., 1996. Panduan Praktikum Analisis Fitokimia. Laboratorium Farmakologi
Jurusan Farmasi FMIPA. Universitas Padjadjaran. Bandung .
Robinson, T., 1991. The Organic Constituen of HigherPlants. 6th
Edition. Department of Biochemistry. University
of Massachusetts
Sabirin,
M., Hardjono S., dan Respati S., 1994. Pengantar
Praktikum Kimia Organik II. UGM-Yogyakarta.
Sastrohamidjojo,
H., 1996. Sintesis Bahan Alam. Gadjah
Mada university Press. Yogyakarta.
TUGAS SETELAH PRAKTIKUM
1. Tuliskan reaksi umum yang terjadi pada :
a. Uji alkaloid
b. Uji Flafonoid
c. Uji Steroid
d. Uji tannin dan polifenol
2.
Pada
uji alkaloid, kesimpulan yang akan saudara barikan (+) alkaloid atau (-)
alkaloid. Jika uji dengan pereaksi menyer (+) sementara uji dengan dragendrof
(-) jelaskan ?
Jawab:
a.
|
b..
|
c.
Uji
tannin dan polifenol
2.
Pada
uji alkaloid pada percobaan yang dilakukan kesimpulannya yaitu (-) alkaloid
karena tidak terbentuk endapan putih pada sampel daun jambu biji yang diuji
dengan peraksi meyer.